Gambar oleh Xuan Loc Xuan dari Pinterest |
Apa yang ingin saya tulis sekarang sebenarnya bukanlah tulisan saya sendiri. Saya mendapatkan cerita ini dari facebook, diposting oleh akun bernama Dannis Limawan. Belakangan saya ketahui bahwa beliau adalah founder Difabel Community Indonesia (DFCI) Yayasan Difabel "HATI BAPA" Semarang. Beliau bukanlah pemilik asli cerita, karena di dalam postingannya tersebut beliau juga mengatakan bahwa beliau hanya copas.
Mungkin ada juga beberapa dari pembaca yang telah membaca cerita di bawah ini. Namun rasa-rasanya perlu bagi saya untuk membagikannya ulang. Begini ceritanya:
“Ada sepasang suami istri tergesa-gesa berlari menuju ke helikopter di puncak gedung hotel untuk menyelamatkan diri pada saat terjadi kebakaran. Tetapi saat sampai di atas sana, mereka menyadari bahwa hanya ada tempat untuk satu orang yang tersisa. Dengan segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu, sementara sang istri hanya bisa menatap kepadanya sambil meneriakkan sebuah kalimat sebelum helikopter menjauh .
Kejadian Berikutnya...
Api itu semakin membesar dan menghanguskan seluruhnya (termasuk istrinya).
Dosen yang menceritakan kisah ini bertanya pada mahasiswa-mahasiswanya, “Menurut kalian, apa yang sang istri itu teriakkan?“
Sebagian besar mahasiswa-mahasiswi itu menjawab :
- Kamu jahat
- Aku benci kamu
- Kurang ajar
- Kamu egois
- Gak tanggung jawab
- Gak tau malu kamu dsb..
Tapi ada seorang mahasiswi yang hanya diam saja, dan dosen itu meminta mahasiswi yang diam itu menjawab. Kata si mahasiswi, “Saya yakin si istri pasti berteriak Tolong jaga anak kita baik-baik.”
Dosen itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu sudah pernah dengar cerita ini sebelumnya?”. Mahasiswi itu menggeleng, “Belum, tapi itu yang dikatakan oleh ibu saya sebelum dia meninggal karena penyakit kronis”.
Dosen itu menatap seluruh kelas dan berkata, “Jawaban ini benar”.
Hotel itu kemudian benar-benar terbakar habis dan sang suami harus kembali ke kota kecilnya dengan air mata yang terus menetes harus menjemput anak-anak mereka yang masih TK dan balita, mengasuh anak-anak mereka sendirian, dan kisah tragedi tersebut di simpan rapat-rapat tanpa pernah dibahas lagi.
Bertahun-tahun kemudian, anak-anak itu sudah menjadi dewasa. Ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi dokter, dan 1 lagi masih bekerja sambil kuliah. Pada suatu hari ketika anak bungsunya bersih-bersih kamar sang Ayah, anak itu menemukan buku harian ayahnya. Dia menemukan kenyataan bahwa saat orang tuanya ke hotel itu, mereka sedang berobat jalan karena sang ibu menderita penyakit kanker ganas dan akan segera meninggal.
Karena itulah, di saat darurat itu, ayahnya memutuskan mengambil satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup. Dan dia menulis di buku harian itu, “Betapa aku berharap untuk sang istri yang naik ke helikopter itu. Istriku sayang, tapi demi anak-anak kita, terpaksa dengan hati menangis membiarkan kamu terbakar sendirian”.
Si anak bungsu kemudian menceritakan kepada kedua kakaknya dan mereka bertiga segera menyusul sang Ayah di kampus. Mereka sujud mencium kaki sang Ayah bergantian (mengucap syukur atas perjuangan sang Ayah membesarkan mereka semua, sekalipun dengan beban mental yang demikian berat).
Cerita itu selesai dan seluruh kelas pun terdiam. Dosen itu kemudian berkata, “Siapakah sang Ayah? Sang Ayah itu saat ini lah yang ada di hadapan kalian”. Mahasiswa dan mahasiswinya segera berlarian memeluk sang Dosen. Mereka sekarang mengerti Hikmah dari cerita nyata tersebut.
Bahwa kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang kita pikirkan, ada berbagai macam komplikasi dan alasan dibaliknya yang kadang sulit dimengerti. Karena itulah jangan pernah melihat hanya luarnya saja dan kemudian langsung menghakimi, apalagi tanpa tahu apa-apa. Jangan mudah mengambil kesimpulan karena asumsi!”
Selesai.
Terlepas dari benar
atau tidaknya cerita di atas (karena tidak diketahui sumber aslinya secara
jelas), namun yang pasti ada banyak pelajaran yang dapat kita petik dari sana.
Salah satunya adalah kalimat penutup cerita di atas. Jangan mudah mengambil
kesimpulan karena asumsi. Sebagian orang berpikir dan menyimpulkan sesuatu
hanya berdasarkan pada pikiran dan sudut pandangnya masing-masing.
Kebaikan dan kejahatan
di dunia ini tidak sesederhana yang kita pikirkan. Orang-orang berpikir betapa
jahatnya sang suami karena telah memilih mengambil satu-satunya tempat dan
meninggalkan istrinya. Tanpa kita sadari bahwa itulah pilihan terbaik yang dapat
mereka ambil, bukan tanpa resiko, bukan tanpa beban. Bayangkan, betapa
hancurnya perasaan seorang suami ketika dengan terpaksa harus meninggalkan
istrinya dalam keadaan seperti itu. Jelas dia harus menanggung beban perasaan
yang tidak ringan.
Tapi bagaimana jika
dia memilih tinggal di atap dan istrinya yang naik ke helikopter sementara
istrinya sendiri menderita sakit kanker? Kita memang tidak pernah tahu umur
manusia, tapi dalam keadaan seperti ini, sang suami barangkali memiliki
kesempatan berumur lebih panjang daripada sang istri. Dia akan memiliki
kesempatan yang lebih baik untuk mengasuh dan membesarkan buah hati mereka. Dan
itulah perjuangannya untuk keluarga dalam kondisi yang begitu menyakitkan. Dan
dia berhasil.
Sudah sering kita
mendengar “Don’t judge a book by it’s cover”. Maka benarlah adanya
ungkapan tersebut. Sesuatu yang terlihat buruk, belum tentu seburuk apa yang
kita pikirkan. Begitu pun sebaliknya. Maka mencoba membuka berbagai sudut
pandang adalah suatu keharusan tatkala pikiran-pikiran kita sudah terlalu
banyak dihuni asumsi-asumsi negatif akan suatu hal. Juga tatkala kita terlalu
larut dalam euforia akan suatu hal yang terlihat amat baik dan sempurna. Semoga
kita tidak pernah lupa bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini.
0 Komentar