Beberapa waktu yang lalu saya baru saja menamatkan Buku Bumi Manusia, roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Barangkali ada yang menertawakan saya, betapa amat terlambatnya saya baru membaca buku itu sekarang. Saya sendiri pun menyesalinya. Tapi sesungguhnya tak ada kata terlambat untuk memulai dan belajar bukan? (halah, mencari pembenaran diri).
Sejujurnya saya sudah penasaran dengan buku itu sejak lama. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu. Saya bertanya pada teman yang ketika itu tengah membaca Bumi Manusia. Dia bilang bagus, hanya saja mungkin ada beberapa tutur kalimat yang sulit dipahami, karena itu adalah buku roman sejarah. Begitu katanya. Saya pun urung membacanya, nanti-nanti dulu deh, batin saya. Ketika itu saya takut bahwa saya tidak akan mampu memahami isi bukunya. Kan sayang beli buku tebel tapi nggak paham isinya dan nggak kebaca.
Tapi meski demikian, saya berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat saya harus membaca dan menuntaskan buku tersebut. Lagipula siapa yang tak penasaran dengan buku fenomenal karya penulis legendaris yang berulang kali masuk nominasi nobel sastra itu. Hingga beberapa tahun setelah itu, atau tepatnya beberapa bulan yang lalu, cerita dari buku itu difilmkan dan filmnya resmi dirilis dengan judul yang sama. Apa yang terjadi pada saya? Saya pun belum juga membaca bukunya (hiks, sedih).
Ketika itu pun sempat terpikir untuk menonton filmnya saja. Tapi tidak. Berdasarkan pengamalan yang sudah-sudah, biasanya ketika kita menonton film adaptasi buku, kita tidak akan sepuas ketika membaca bukunya. Mengapa? Karena film membatasi atau bahkan menghancurkan daya khayal kita tentang buku yang kita baca. Jadi, saya pun urung menonton filmnya dan bertekad harus membaca bukunya terlebih dahulu.

Poster film Bumi Manusia

Apa yang pada akhirnya membuat saya benar-benar mulai membaca buku karya Pak Pram tersebut? Kemunculan filmnya kah? Jawabannya adalah bukan. Tekad bulat saya untuk membaca buku Bumi Manusia adalah setelah saya menonton vlog Fiersa Besari, penulis sekaligus penyanyi yang nama dan karyanya melejit beberapa tahun belakangan. Di vlognya itu, Fiersa bercerita tentang bagaimana awal mula ia mulai menulis (Channel vlog Fiersa Besari: https://www.youtube.com/watch?v=3ZoLtHcANXg)Salah satu yang mendorongnya untuk menulis adalah setelah dia menyelesaikan membaca buku Anak Semua Bangsa (buku kedua dari tetralogi buru, di mana buku pertamanya adalah Bumi Manusia). Sejak saat itu, tekad saya semakin membulat untuk membaca buku-buku Pak Pram. Dan yang harus saya baca pertama adalah Bumi Manusia. 
 Gayung bersambut, tak lama setelah itu, saya berulang tahun. Seseorang menawarkan hadiah dan meminta saya untuk memilih sendiri hadiah yang saya inginkan. Tanpa ragu, Buku Bumi Manusia adalah pilihan saya. Dan ternyata, praduga saya beberapa tahun silam salah. Buku Bumi Manusia enak dibaca dan masih sangat bisa dipahami kalimat-kalimatnya. Menghanyutkan.

Isi Buku Bumi Manusia

Bumi Manusia bercerita tentang sosok Minke, pemuda keturunan jawa pribumi yang hidup di tengah pengetahuan dan kebudayaan Eropa pada awal abad 20-an. Dia adalah satu-satunya pribumi yang bersekolah di sekolah HBS Surabaya. Minke tergolong pemuda yang cerdas. Kehidupan sehari-harinya adalah untuk bersekolah, mencari orderan pahatan untuk Jean Marais, seorang pemahat mantan kompeni kenalannya, dan juga menulis untuk diterbitkan di koran Belanda kala itu.
Hidupnya menjadi penuh konflik ketika dia mengenal Annelies, anak seorang hartawan di Surabaya pemilik perusahaan pertanian. Kehidupan keluarga hartawan itu tidaklah sesempurna yang dibayangkan orang-orang. Annelies diasuh oleh ibu kandungnya, Nyai Ontosoroh yang seorang pribumi. Pada masa itu, sebutan Nyai memiliki konotasi yang buruk. Ia tak lain adalah gundik yang tak dinikahi secara sah oleh suaminya. Sementara derajat seorang Nyai, apalagi hanya pribumi, dianggap hina pada masa itu.
Namun Nyai Ontosoroh berbeda dengan yang lain. Dia adalah wanita keras hati, berpengetahuan luas, bahkan ia memimpin perusahaan keluarga sendirian. Tuan Herman Mellema, ayah Annelies, yang tak lain adalah suami tidak sah Nyai Ontosoroh, telah berubah menjadi sosok yang amat jauh berbeda 5 tahun belakangan semenjak sebuah “badai” menghantam keluarga mereka. Hal itu lah yang memaksa Nyai Ontosoroh berjuang sendirian menyelamatkan keluarga dan perusahaannya, hingga Minke datang ke kehidupan mereka. Annelies menyukai Minke. Begitu juga Nyai Ontosoroh, ia mengagumi pribadi Minke. Akhirnya, Annelies pun dinikahkan dengan Minke. Sementara konflik demi konflik terus berdatangan.
Buku ini bercerita tentang bagaimana Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh menghadapai konflik demi konflik yang datang menerpa mereka di tengah kerasnya keluarga Minke yang masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejawaan, di tengah kerasnya diskriminasi garis keturunan (Pribumi, Indo, dan Eropa Totok), dan diskriminasi hukum pada masa itu.

Refleksi Diri

Dalam refleksi ini, saya ingin merefleksikan sifat/karakter tokoh yang ada di Buku Bumi Manusia, terutama tokoh Minke. Karena dialah yang menjadi sentral dari cerita Bumi Manusia (barangkali refleksi tokoh lain bisa saya tulis lain waktu juga, siapa tahu, hehe). Minke, diceritakan sebagai sosok pemuda keturunan Jawa yang -bisa dikatakan- berusaha lepas dari nilai-nilai kejawaan yang selama ini melekat dalam dirinya dan keluarganya.
Ayahnya adalah seorang bupati. Namun ia sendiri tak ingin menjadi bupati maupun pejabat pemerintahan lain seperti yang diharapkan orang tuanya. Ia ingin menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat oleh apapun. Hal ini sejalan dengan kegemarannya, menulis, di mana ia bisa bebas menyampaikan, mengkritisi, dan memberi sudut pandang akan suatu hal. Selain itu, kegemarannya untuk menulis, mau tak mau memaksa dirinya untuk lebih banyak membaca, baik membaca secara tersurat maupun membaca dan mempelajari keadaan dengan baik. Hal inilah yang membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang terpelajar, tidak hanya dinilai dari akademiknya saja.
Saya menjadi paham mengapa Fiersa Besari akhirnya punya motivasi yang kuat untuk memperluas tulisannya pasca membaca roman kedua tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa, yang juga masih menceritakan sosok Minke ini. Melalui tulisan-tulisan dan pemikirannya, Minke membuktikan bahwa meski dirinya hanya seorang pribumi, ia memiliki kualitas diri melebihi orang Indo dan Eropa Totok yang begitu dihormati pada masa itu. Melalui tulisan-tulisannya pulalah ia melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan hukum yang menimpa keluarganya dan berhasil mendatangkan simpati sekaligus reaksi dari orang-orang yang juga menilai kebiadaban hukum Eropa pada masa itu. Padahal di masa itu belum ada lampu, belum ada komputer, belum ada media elektronik. Seluruh tulisan hanya dimuat di media cetak (koran).
Sekarang mari kita bertolak pada kehidupan kita sekarang, hidup yang serba modern, tak ada lagi penjajahan, tak ada lagi diskriminasi garis keturunan, bebas sebebas-bebasnya. Sudahkah kita mengerahkan pikiran kita untuk sesuatu yang bermanfaat? Sudahkah kita memanfaatkan media yang ada dengan sebaik-baiknya?
Saya seringkali miris menengok media sosial yang kebanyakan hanya berisi ujaran-ujaran kebencian, komentar-komentar nyinyir, hingga personal bullying. Sorry to say, dengan segala kemudahan yang ada di tangan kita sekarang, semestinya kita bisa jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan sosok Minke, kita mestinya bisa menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi sekitar. Kita punya media yang luas, kita punya ruang yang tak terbatas. Amat disayangkan bila dengan fasilitas yang sedemikian hebat ini tidak kita manfaatkan sebaik mungkin untuk meng-upgrade diri. Amat disayangkan bila dengan fasilitas yang sedemikian berkualitas ini justru menjadikan kita manusia yang tidak punya kualitas.